Scroll untuk melanjutkan membaca

Konflik Thailand-Kamboja: Baku Tembak Sengit di Perbatasan

 Perang Kata dan Senjata Mematikan di Zona Sengketa, Gencatan Senjata Donald Trump Gagal Total


Warga berlindung di bunker menyusul bentrokan di sepanjang perbatasan Thailand-Kamboja (Foto: AFP/ Chonmahatrakool)

Eskalasi kekerasan mematikan kembali terjadi di sepanjang wilayah perbatasan Thailand dan Kamboja yang disengketakan. Kedua negara saling tuduh sebagai pemicu bentrokan baru ini, sambil menegaskan tekad untuk mempertahankan kedaulatan wilayah masing-masing.

Pertempuran terbaru ini dinilai sebagai yang paling sengit sejak konflik lima hari pada bulan Juli lalu. Laporan korban mencatat tujuh warga sipil tewas dan 20 lainnya terluka di pihak Kamboja, sementara tiga tentara Thailand gugur dalam baku tembak yang intens.

Bentrokan ini secara efektif telah mementahkan perjanjian gencatan senjata yang difasilitasi oleh Amerika Serikat dan disepakati di hadapan Donald Trump, enam minggu sebelumnya. Masing-masing pihak menuduh yang lain telah melanggar kesepakatan tersebut.

Reaksi dari Pemimpin Kedua Negara

Menanggapi situasi ini, Presiden Senat Kamboja, Hun Sen, menyampaikan sikap tegas melalui unggahan di media sosial pada hari Selasa 10 Desember 2025 pagi.

"Setelah bersabar selama lebih dari 24 jam" untuk menghormati perjanjian gencatan senjata dan mengevakuasi warga sipil, Kamboja terpaksa melancarkan serangan balasan. "Kamboja memerlukan perdamaian, tetapi Kamboja wajib melakukan serangan balasan untuk mempertahankan wilayah kami," ujar Hun Sen.

Meskipun telah menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Hun Manet, pada tahun 2023, Hun Sen, yang menjabat sebagai perdana menteri selama hampir empat dekade, tetap memiliki pengaruh yang sangat kuat di Kamboja. 

Ia menambahkan bahwa Kamboja memiliki bunker dan persenjataan yang kuat yang memberikannya keuntungan strategis.

Di sisi Thailand, Juru Bicara Kementerian Pertahanan, Laksamana Muda Surasant Kongsiri, menegaskan bahwa negaranya akan mengambil tindakan militer yang diperlukan.

"Thailand bertekad untuk mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayahnya, dan oleh karena itu, tindakan militer harus diambil sesuai kebutuhan," kata Surasant Kongsiri kepada The Guardian.

Sementara itu, Perdana Menteri Thailand, Anutin Charnvirakul, sebelumnya telah berjanji bahwa pemerintahannya akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi wilayah mereka. "Tidak akan ada pembicaraan. Jika pertempuran akan berakhir, [Kamboja] harus melakukan apa yang telah ditetapkan Thailand," tegasnya.

Perluasan Konflik dan Tuduhan Senjata Berat

Pada hari Selasa 9 Desember 2025, konflik dilaporkan meluas lebih jauh. Angkatan Laut Thailand mengumumkan telah mengambil tindakan untuk mengusir pasukan Kamboja yang dituduh melanggar wilayah Thailand di Provinsi Trat.

Militer Thailand menuding Kamboja menggunakan peluncur roket, drone pengebom, dan artileri untuk menyerang posisi mereka. Mereka juga melaporkan bahwa tembakan artileri telah jatuh menimpa dua rumah sipil di Provinsi Sa Kaeo, meskipun tidak ada korban jiwa dilaporkan.

Di lain pihak, Kamboja menuduh Thailand menembaki wilayah sipil. Kamboja menyebut "agresi yang diperbarui" oleh Thailand telah "menghancurkan infrastruktur, merusak kuil, properti budaya, warisan kemanusiaan, dan mengganggu layanan publik yang penting."

Lebih dari 125.000 penduduk di Thailand kini berada di tempat penampungan evakuasi sementara di provinsi Ubon Ratchathani, Sisaket, Surin, dan Buri Ram, menurut data militer Thailand. Sementara itu, di Kamboja, lebih dari 21.000 orang telah dievakuasi di provinsi Preah Vihear, Oddar Meanchey, dan Banteay Meanchey.

Sejarah Sengketa yang Tak Kunjung Usai

Perselisihan antara Thailand dan Kamboja memiliki akar sejarah lebih dari satu abad. Konflik bermula sejak Prancis, yang menduduki Kamboja hingga tahun 1953, pertama kali memetakan batas daratan. Ketegangan berulang kali meletus di sepanjang perbatasan yang membentang lebih dari 800 kilometer tersebut.

Ketegangan sempat memuncak pada bulan Mei dan meningkat menjadi konflik lima hari di bulan Juli, yang menewaskan sedikitnya 48 orang dan menyebabkan 300.000 orang mengungsi, sebelum akhirnya gencatan senjata ditengahi oleh Donald Trump.

Kesepakatan gencatan senjata tersebut tampak rapuh sejak awal, dengan kedua belah pihak berulang kali melayangkan tuduhan pelanggaran. Bulan lalu, Thailand mengumumkan penangguhan kesepakatan gencatan senjata, menuduh Kamboja memasang ranjau darat baru di sepanjang perbatasan, di mana salah satunya melukai seorang tentara Thailand.

Sebelum bentrokan terbaru ini, seorang warga sipil Kamboja tewas dan tiga lainnya terluka setelah kedua belah pihak saling menuduh melepaskan tembakan.(*)
Baca Juga
Berita Terbaru
  • Konflik Thailand-Kamboja: Baku Tembak Sengit di Perbatasan
  • Konflik Thailand-Kamboja: Baku Tembak Sengit di Perbatasan
  • Konflik Thailand-Kamboja: Baku Tembak Sengit di Perbatasan
  • Konflik Thailand-Kamboja: Baku Tembak Sengit di Perbatasan
  • Konflik Thailand-Kamboja: Baku Tembak Sengit di Perbatasan
  • Konflik Thailand-Kamboja: Baku Tembak Sengit di Perbatasan
Posting Komentar
Tutup Iklan