Scroll untuk melanjutkan membaca

153 Pengungsi Palestina Tiba Di Afrika Tanpa Stempel Resmi

Karawang: Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa telah memerintahkan penyelidikan atas kedatangan "misterius" sebuah pesawat carter yang membawa 153 warga Palestina dari Gaza ke negara itu, sebuah insiden yang menimbulkan kebingungan dan memicu perdebatan.(16/11/25).

Foto : AFP

Kelompok tersebut tiba di Bandara Internasional OR Tambo, namun awalnya ditolak masuk dan terpaksa bertahan di dalam pesawat selama lebih dari 10 jam. 

Pihak berwenang setempat menjelaskan bahwa mereka ditolak karena para penumpang "tidak memiliki stempel keberangkatan lazim di paspor mereka".

Sebagian besar dari mereka akhirnya diizinkan masuk setelah intervensi dari organisasi amal setempat dan berkat "empati [dan] kasih sayang" dari pemerintah, ujar Presiden Ramaphosa.

Rute dan Dokumentasi yang 'Misterius"

Hingga kini, situasi dan kondisi keberangkatan mereka dari Gaza serta perjalanan menuju Afrika Selatan masih belum jelas. Afrika Selatan sendiri dikenal memiliki dukungan kuat terhadap perjuangan Palestina di tengah perang antara Hamas dan Israel di Gaza.

Ramaphosa, saat berbicara dalam sebuah acara di Johannesburg, menyebutkan bahwa kelompok itu "entah bagaimana secara misterius dimasukkan ke dalam pesawat yang melewati Nairobi" dan terbang ke Afrika Selatan, lapor situs berita News24.

Otoritas militer Israel, Cogat, yang mengendalikan perbatasan Gaza, memberikan pernyataan: "Penduduk meninggalkan Jalur Gaza setelah Cogat menerima persetujuan dari negara pihak ketiga untuk menerima mereka." Namun, Cogat tidak menyebutkan secara spesifik negara mana yang dimaksud.

Menurut Kedutaan Besar Palestina di Afrika Selatan, kelompok tersebut meninggalkan Bandara Ramon di Israel dan terbang ke Afrika Selatan melalui Nairobi, ibu kota Kenya, "tanpa pemberitahuan atau koordinasi sebelumnya."

Dalam pernyataannya, kedutaan menambahkan bahwa "organisasi yang tidak terdaftar dan menyesatkan [telah] mengeksploitasi kondisi kemanusiaan yang tragis dari rakyat kami di Gaza, menipu keluarga, mengumpulkan uang dari mereka, dan memfasilitasi perjalanan mereka dengan cara yang tidak teratur dan tidak bertanggung jawab."

Dari 153 orang tersebut, 23 orang berhasil terbang melanjutkan perjalanan ke tujuan lain, menyisakan 130 orang yang diizinkan masuk ke Afrika Selatan, menurut keterangan pihak berwenang.

"Tidak Bisa Kami Tolak"

Presiden Ramaphosa, yang mendapat informasi tentang krisis tersebut dari menteri dalam negeri, menegaskan bahwa "kami tidak bisa menolak mereka kembali", menurut News24.

"Meskipun mereka tidak memiliki dokumen dan surat-surat yang diperlukan, ini adalah orang-orang dari negara yang dilanda perselisihan, negara yang dilanda perang," tambahnya.

Pemerintah Afrika Selatan akan melakukan "evaluasi yang tepat" atas masalah ini dan memberikan informasi terbaru kepada publik tentang "apa yang terjadi dan bagaimana masalah ini bisa terjadi," kata presiden kepada wartawan, lapor lembaga penyiaran publik SABC.

Menteri Dalam Negeri, Leon Schreiber, menjelaskan bahwa meskipun pemegang paspor Palestina memenuhi syarat untuk bebas visa 90 hari, penolakan awal disebabkan oleh ketiadaan stempel keberangkatan, tiket pulang, atau alamat akomodasi dalam dokumen beberapa penumpang.

Setelah dipastikan bahwa ketiadaan informasi ini "tidak menunjukkan bahwa para pelancong ingin mengajukan permohonan suaka" dan akomodasi mereka telah dikonfirmasi, mereka diizinkan masuk. "Semua pelancong memiliki paspor yang sah dan, saat ini, tidak ada satu pun dari mereka yang mengajukan suaka," katanya.

Organisasi amal Afrika Selatan, Gift of the Givers, telah menyatakan akan menyediakan akomodasi bagi kelompok tersebut di negara itu.

*Seruan Investigasi dan Kritik Perlakuan*

Organisasi-organisasi masyarakat sipil di Afrika Selatan menyerukan penyelidikan terhadap kondisi yang menyebabkan warga Palestina melarikan diri dari Gaza dan rute pasti pesawat tersebut.

Salah satu warga Palestina yang berbicara kepada eNCA TV setempat menyatakan kelegaan berada di Afrika Selatan, menggambarkannya sebagai negara "damai, hukum, dan keadilan."

"Kami datang dari Gaza di mana kami menghadapi kematian setiap hari. Kami selamat dari perang selama dua tahun dan kami beruntung berada di sini," kata seorang pria yang melarikan diri bersama istri dan dua anaknya.

Sejak insiden itu, Gift of the Givers menyerukan agar Ramaphosa menyelidiki kementerian dalam negeri dan otoritas perbatasan atas "penghinaan yang telah mereka sebabkan" kepada warga Palestina.

Pendiri organisasi tersebut, Dr. Imtiaz Sooliman, menyebutkan perlakuan buruk tersebut termasuk memaksa mereka menunggu berjam-jam di apron bandara, menolak makanan yang disediakan oleh kelompok amal itu, dan "menggunakan setiap alasan di buku untuk mencegah penumpang ini turun dari pesawat."

Afrika Selatan selama ini sangat kritis terhadap operasi militer Israel di Gaza dan pada tahun 2023 mengajukan kasus terhadap Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ), menuduhnya melakukan genosida di Gaza.(*)
Baca Juga
Berita Terbaru
  • 153 Pengungsi Palestina Tiba Di Afrika Tanpa Stempel Resmi
  • 153 Pengungsi Palestina Tiba Di Afrika Tanpa Stempel Resmi
  • 153 Pengungsi Palestina Tiba Di Afrika Tanpa Stempel Resmi
  • 153 Pengungsi Palestina Tiba Di Afrika Tanpa Stempel Resmi
  • 153 Pengungsi Palestina Tiba Di Afrika Tanpa Stempel Resmi
  • 153 Pengungsi Palestina Tiba Di Afrika Tanpa Stempel Resmi
Posting Komentar
Tutup Iklan