Ciamis : Kampung Adat Kuta di Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, menjadi contoh nyata keteguhan masyarakat adat dalam menjaga warisan leluhur. Di wilayah seluas 185 hektare ini, sebanyak 238 jiwa masih hidup dengan memegang teguh aturan adat dan kearifan lokal.(5/10/25).
Wakil Ketua Adat Kampung Kuta, Firman Khabibi, mengatakan bahwa masyarakat di sana sangat disiplin dalam menjaga hutan adat. “Hutan adat kita seluas 31 hektare itu benar-benar tutupan, tidak boleh mengambil ranting atau dedaunan sekalipun,” ujarnya, Sabtu (4/10/2025).
Selain menjaga lingkungan, masyarakat juga berkomitmen melestarikan budaya leluhur. “Kebudayaan di Kampung Adat Kuta sudah kami registrasikan,” katanya.
“Kami sudah memiliki dua Warisan Budaya Takbenda (WTB). Selain itu juga dua Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) yang terdaftar di Kemenkumham,” kata Firman, menambahkan.
Ia menjelaskan, upaya pelestarian dilakukan dengan mendidik generasi muda melalui kegiatan sekolah lapang kearifan lokal. “Kami ajarkan anak-anak adat tentang adat istiadat dan cara menjaga lingkungan, agar tidak hilang oleh waktu,” ucapnya.
Dari sisi ekonomi, warga juga diberdayakan melalui produk lokal seperti produksi gula aren organik. “Kami jual gula aren berkualitas, bahkan sudah menuju SNI (Standar Nasional Indonesia),” kata Firman.
Hal ini, lanjutnya, membuat perekonomian masyarakat adat meningkat. “Dengan peningkatan ekonomi ini, anak-anak kini bisa melanjutkan pendidikan hingga tingkat SMK bahkan kuliah,” katanya.
Meski tetap berpegang pada adat, masyarakat Kuta mulai beradaptasi dengan teknologi. “Sekarang kami pakai internet satelit agar bisa komunikasi dan ikut program pemerintah,” kata Firman.
Meskipun demikian, mereka tetap menyaring paparan teknologi yang masuk ke kampungnya. “Tetap kami saring, anak-anak hanya boleh pakai internet malam Minggu saja,” ujarnya.
Sementara itu, Tim Ahli Warisan Budaya Kota Tangerang, Mushab Abdu Asy Syahid, menilai masyarakat adat seperti di Ciamis memiliki peran penting dalam menjaga jati diri bangsa. “Masyarakat adat ini menjadi salah satu benteng pertahanan terakhir bagi kelestarian budaya Nusantara,” ujarnya.
Menurut Mushab, pelestarian adat tidak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat adat semata. “Ini juga tanggung jawab pemerintah, akademisi, bahkan sektor swasta, karena nilai-nilai budaya itu tidak tergantikan dan harus dijaga bersama,” katanya.
Ia menilai, adaptasi masyarakat adat terhadap kemajuan zaman perlu dilakukan secara bijak. “Strategi seperti registrasi warisan budaya atau pemanfaatan teknologi dengan batas tertentu itu langkah cerdas,” katanya.
Hal ini, lanjutnya, menunjukkan masayarakt adat berupaya menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. “Kesadaran kritis masyarakat adat untuk menyaring pengaruh dari luar menjadi kunci agar nilai-nilai luhur bangsa tetap lestari di tengah gempuran modernitas,” katanya (*)