Hari ini
Cuaca 0oC
BREAKING NEWS

Ketua Komisi III DPR Ajukan Penangguhan Penahan Mahasiswa ITB

 Jakarta : Kasus penahanan seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS akibat unggahan meme yang menampilkan Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) kembali memicu perdebatan publik mengenai batasan kebebasan berekspresi di Indonesia.

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman

Unggahan meme tersebut, yang disebut sebagai bentuk kritik visual, berujung pada penetapan status tersangka dan penahanan oleh Bareskrim Polri. Langkah ini menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan, termasuk para legislator di DPR RI yang menilai penanganan kasus ini perlu mempertimbangkan konteks seni dan ekspresi akademik.

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyampaikan bahwa pihaknya telah mengajukan permohonan penangguhan penahanan terhadap mahasiswi tersebut. 

“Ya benar, kami telah mengajukan penangguhan penahanan,” ujarnya dalam pernyataan tertulis, Minggu (11/5/2025).

Di sisi lain, Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, menekankan pentingnya pemahaman atas konteks karya seni, terutama dari mahasiswa seni rupa. Menurutnya, meme tersebut merupakan bentuk kritik yang bersifat metaforis dan tidak dimaksudkan sebagai serangan pribadi.

“Kritik mahasiswa FSRD ITB melalui karya visual seperti itu seharusnya bukan dimaknai secara harfiah. Itu adalah metafora yang memerlukan pemahaman lebih dalam untuk menangkap maknanya,” jelas Bonnie.

Ia bahkan mengaitkan fenomena ini dengan mural-mural kritis di era Tembok Berlin yang kini diakui sebagai simbol perjuangan dan pemikiran bebas. Bonnie menyerukan agar negara tidak bersikap represif terhadap ekspresi intelektual dan artistik mahasiswa.

“Meme itu mengajak kita berpikir, bukan untuk marah,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa reaksi yang berlebihan justru bisa membahayakan iklim demokrasi dan kebebasan akademik di lingkungan kampus.

Kasus ini menjadi titik refleksi penting bagi publik, aparat penegak hukum, dan pemerintah untuk meninjau ulang bagaimana kritik—khususnya yang disampaikan melalui media visual—seharusnya dipahami dalam kerangka demokrasi, bukan hanya dalam kacamata hukum pidana.(*)

Hide Ads Show Ads