Pro dan Kontra Gebrakan KDM, Aspek Lain Dalam Mendidik Anak
Karawang : Gebrakan Kang Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, dalam membenahi Provinsi dibawah kepengurusannya nampak mengundang pro kontra. (10/5/25).
Kali ini, ia merespon dan mengeluarkan kebijakan untuk menangani anak-anak remaja “trouble maker” dan sulit diarahkan. Kebijakan ini tentu membelah masyarakat menjadi dua sisi. Di satu sisi, sebagian masyarakat sangat pro serta menilai ini menjadi salah satu tools yang efektif untuk mendidik anak kala para pendidik dan orangtua sudah berada di titik menyerah.
Pihak lain yang kontra, menilai kebijakan ini tidak efektif serta cenderung mencederai hak-hak anak. Anak seharusnya diarahkan, diayomi, dan dididik tidak dengan cara ala VOC (istilah untuk pola didik yang cenderung keras).
Gubernur Jawa Barat, yang akrab disapa KDM, merespon problematika kenakalan remaja dengan cara turun langsung, secara teknis meminta TNI (Tentara Nasional Indonesia) untuk mendisiplinkan mereka. Mulai dari anak-anak dengan kebiasaan tawuran. Mereka akan dikirim ke barak-barak militer.
Info teranyar dari laman youtube dan tiktok resmi KDM, target berikutnya adalah anak-anak remaja yang senang nongkrong bermain game online, serta remaja dengan kepribadian yang dinilai berorientasi seksual menyimpang.
Melansir kompas.com (30 April 2025), program pembinaan oleh TNI itu diamini oleh Bupati Purwakarta, Saeful Bahri dengan mengirimkan sebanyak 40 siswa SMP dan SMA di Purwakarta ke barak militer.
Program pembinaan karakter dengan pendekatan ini telah dilakukan tanggal 2 Mei 2025 lalu.
Kepala Dinas Pendidikan Purwakarta, Purwanto menyatakan bahwa hal ini sejalan dengan kebijakan Gubernur.
Metode ini pun dalam rangka menanamkan nilai-nilai disiplin, rasa tanggung jawab yang dinilai mulai menurun pada generasi muda saat ini.
Namun, berbeda dengan pendapat Wakil Ketua DPRD Purwakarta, Entis Sutisna berpendapat apabila hendak menindaklanjuti program dari Gubernur mengenai program pembinaan anak di barak militer seharusnya mendiskusikan terlebih dahulu dengan pemangku kepentingan yang lain. Karena program ini akan melibatkan semua pihak terkait, (Purwakarta.inews, 2 Mei 2025).
Siapapun yang melek terhadap semua permasalahan yang muncul di kalangan remaja, baik itu dari para pakar parenting atau Masyarakat pada umumnya pasti memiliki pandangan yang sama yaitu remaja saat ini sudah mengalami degradasi moral. Remaja juga sedang mengalami fase Dimana mereka tidak mengenal jati diri dan perannya sebagai penerus masa depan bangsa.
Mungkin inilah yang dibaca oleh orang nomor satu di Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, adanya krisis di kalangan generasi muda. Sehingga ia merasa perlu melakukan kebijakan konkrit untuk mengatasinya sesegera mungkin. Terlepas apakah kebijakan tersebut menuai pro atau kontra. Pembinaan ala militer ini dianggap sebagai salah satu jalan untuk mengarahkan generasi ke arah yang labih baik.
Berangkat dari kondisi ini, mari kita memetakan beberapa pola pemahaman yang harus menjadi perhatian bersama, baik dari pemangku kepentingan, kalangan pendidik, dan juga orangtua. Pola pemahaman yang pertama adalah memahami posisi anak sebagai amanah dari Sang Maha Kuasa.
Kita lah orangtua yang bersujud meminta kepada Sang Pencipta untuk dikaruniai buah hati. Maka, ketika amanah itu diberikan harus beriringan dengan Upaya untuk menjadi orangtua betulan, bukan kebetulan menjadi orangtua. Pola ini tentu akan menanamkan pada setiap orangtua agar memberikan hak anak, mendidiknya, dan mengarahkannya sebaik dan semaksimal. Karena tanggung jawab pendidikan anak berada pada orangtuanya sendiri.
Amanah tersebut harus dipandang dengan keimanan. Amanah tidak boleh dilalaikan.
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Kemudian kedua oranguanyalah yang akan menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani, atau Majusi sebagaimana Binatang ternak yang melahirkan Binatang ternak dengan sempurna. Apaah kalian melihat ada cacat padanya?.” (HR Bukhari).
Pola pemahaman yang kedua yaitu kualitas para pendidik di dalam sistem pendidikan.
Hari ini, sistem pendidikan nampak perlu mengevaluasi dan membenahi diri apakah tujuan akhir dari sistem pendidikan saat ini mencetak generasi dengan iman dan karakter yang kuat ataukah sebaliknya. Karena kita tidak bisa memungkiri adanya penurunan kualitas karakter remaja atau generasi yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan generasi yang berprestasi. Khawatirnya bonus demografi di tahun-tahun mendatang bukan mendatangkan keemasan tapi malah kecemasan.
Selain itu, ada pihak yang paling krusial dalam menentukan kualitas generasi remaja. Pihak ini tidak lain adalah pemangku kebijakan.
Pakar parenting, Elly Risman menyatakan keprihatinannya di hadapan Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) Januari 2017 lalu, menyatakan bahwa kerusakan generasi itu bermula dar rusaknya tatanan keluarga. Namun, beliau menambahkan untuk memperbaiki generasi remaja semua kalangan harus turut andil.
Masyarakat membutuhkan paying hukum yang bisa mengkondisikan anak-anak dalam suasana yang aman.
Oleh karena itu, penetapan solusi praktis dari para pemangku kebijakan harus seiring sejalan dengan perbaikan karakter dan pola asuh orangtua, sistem Pendidikan yang menguatkan iman dan karakter. Semua ini tidak akan efektif tanpa kebijakan yang sesuai.
Pola pembinaan yang diinisiasi oleh Gubernur Jawa Barat bukanlah kebijakan yang tidak baik. Namun, akan lebih baik jika dibarengi dengan menciptakan hal-hal lainnya yang aman pula untuk anak-anak; aman pola asuhnya, aman tontonanya, aman lingkungannya, aman Pendidikannya, aman pergaulannya.
Jika aman semuanya maka akan aman pula generasi dari segala permasalahan mengenai jati dirinya.
Wallahu’alam.
Oleh: Tati Sunarti, S.S